Minggu, 30 Oktober 2011

padang solin & brutu

pakpak dairi
MENGUNGKAP SEJARAH BATU “TETTAL” MARGA PADANG, BERUTU DAN SOLIN

“Kumarna makne ngo lot koden mbellen, asa makne kita sempangan. Kumarna makne ngo lot bages mbelgah, asa makne kita sempeddemen”. (Karena tidak ada lagi periuk besar, makanya kita tidak lagi satu dapur. Karena tidak ada lagi rumah besar, menyebabkan kita tidak lagi satu atap, red).

Perumpamaan di atas mengingatkan kita, khususnya kaum Pakpak dulunya, betapa hidup dalam satu kesatuan, berdampingan dan saling membutuhkan. Namun akibat tuntutan alam, kebersamaan itu tidak bisa dipertahankan, seiring kemauan anggota keluarga yang ingin membuka lembaran baru, terutama beranak pinak dan mencari kawasan penguasaan (kepemilikan) lahan.

Padang, Berutu dan Solin adalah tiga dari puluhan marga di Kabupaten Pakpak Bharat (sebelum dimekarkan dari Dairi), menjadi contoh penghuni yang sekarang menyebar di daerah ini.

Konon, menurut Asi Padang, jauh sebelum era kemerdekaan, di Lebbuh (Desa) Jambu (sekarang ibukota Kecamatan Si Empat Rube), ke-3 marga ini merupakan kakak beradik yang dilahirkan dari rahim satu ibu, tapi ayah berbeda. Yang sulung bernama Sori Tandang (Padang), kedua Sori Gigi (Berutu) dan sibungsu Punguten Sori (Solin).

Diceriterakan Asi, si sulung diberi nama Padang, karena pada saat itu sang ibu melahirkannya ketika sedang mencari ubi di padang rumput. Sementara Berutu terlahir di bawah pohon bintutu (sejenis pohon yang permukaan kulitnya kasar). Dan persalinan Solin berlangsung ketika si ibu mencari buah bincoli (sejenis umbi-umbian), yang kebetulan saat itu terjadi musim paceklik. Setelah dewasa mereka bertiga pergi merantau ke lebbuh lain.

Singkatnya, jelas Asi, ibarat sebuah reuni, ketiga bersaudara ini pulang kembali ke kampung halaman dan menemukan sebatang pohon durian si kerunggun (perkumpulan) yang sedang berbuah satu. Namun timbul masalah, mereka tidak mengetahui siapa sebetulnya yang paling tua, anak kedua dan yang bungsu.

Ditengah kebingungan, disepakati, buah durian itu dijadikan bahan pembuktian. Siapa yang berhasil menjatuhkan dan membelah buah durian tersebut hanya sekali menghunjuk dengan jari tangan, dialah diangkat sebagai si sulung dan anak kedua.Ternyata, Sori Tandang (Padang) berhasil memperoleh kesempatan pertama dan diikuti Sori Gigi (Berutu).

Untuk menabalkan kesepakatan persaudaraan ini, mereka bertiga menuliskan perjanjian di atas sebongkah batu, yang isinya Padang, Berutu dan Solin merupakan satu keturunan serta anak hingga cucu-cucu laki-laki atau perempuan ketiga marga ini tidak boleh menjadi suami isteri.

Disamping itu, fungsi batu “tettal” dimaksud adalah salah satu ikrar dan sumpah, bahwa perbuatan kebajikan merupakan sumpah yang harus ditaati. Yang ingkar akan mendapat bala atau musibah di kemudian hari.

Untuk memperkuat tali persaudaraan ketiga marga ini, sekitar 50 meter ke arah utara dari batu tettal juga ditanam 3 pohon embacang yang hingga kini dua diantaranya (milik Padang dan Solin) masih kokoh tumbuh dan berbuah. Sementara embacang milik Berutu telah tumbang satu tahun lalu.

Perlu dilestarikan

Kini batu tettal yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun itu kurang terurus. Bahkan ketika koresponden mengunjungi lokasi dimaksud baru-baru ini, disekitarnya dikelilingi semak belukar, tanpa ada tanda-tanda upaya perawatannya.

Sebagai salah satu peninggalan benda pusaka etnis Pakpak dan bernilai historis tinggi, seharusnya ada kemauan instansi terkait tergerak untuk melestarikannya. Memang, beberapa tahun lalu, Hilman Padang pernah memugar artifak tersebut. Namun, tidak diketahui sebabnya, pemugaran itu urung rampung diselesaikan.

“Sehubungan itu, sangat diharapkan bantuan dan perhatian Pemerintah Pakpak Bharat, guna melestarikan benda-benda bersejarah yang terletak di Desa Jambu, Kecamatan Si Empat Rube ini,” ujar Asi Padang.

karya (Lamria Bancin/Salak)

Tidak ada komentar: